Perjalanan Tragis Layanan Kesehatan Pasien Ny. AK: Dari Harapan hingga Kekecewaan


 

Kabil, Batam – sidikfokus.com - Ny. AK, seorang ibu rumah tangga yang juga bekerja, membantu di sebuah warung makan, mengalami perjalanan pelayanan kesehatan yang menyedihkan. Awalnya, ia memeriksakan kandungannya ke klinik pribadi seorang dokter spesialis kandungan dan kebidanan (Sp.OG). Sang dokter memberikan arahan agar Ny. AK datang kembali minggu depan untuk memantau perkembangan janin dalam rahimnya. Saran tersebut dituruti Ny. AK, yang berharap kehamilannya berjalan baik-baik saja.


Namun beberapa hari kemudian, saat sedang bekerja di warung, Ny. AK mengalami nyeri perut hebat hingga pingsan. Ia langsung dibawa ke Rumah Sakit Soedarsono Darmo (RSSD) dan mendapat perawatan intensif selama tiga hari. Setelah kondisi dinilai membaik, ia diperbolehkan pulang pada hari Senin, 20 Januari 2025, dengan pesan dari dokter agar banyak beristirahat di rumah serta menjaga asupan gizi.


Sayangnya, sehari kemudian, tepatnya pada Selasa malam, 21 Januari 2025, sekitar waktu maghrib, Ny. AK mengalami perdarahan hebat di rumah. Keluarganya segera membawa ia kembali ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSSD, yang terletak di kawasan industri Kabil. Saat mobil pasien tiba di halaman IGD, salah seorang anggota keluarga segera masuk untuk melapor ke petugas bahwa ada pasien dalam kondisi darurat akibat perdarahan. Namun, respons yang diterima justru membuat keluarga terpukul.


Tanpa melihat kondisi pasien yang masih di dalam kendaraan dan belum sempat dievakuasi ke ruang IGD, petugas rumah sakit dengan cepat memeriksa data pasien. Setelah mengetahui bahwa pasien baru saja keluar dari perawatan sehari sebelumnya, petugas menyampaikan bahwa menurut prosedur, pasien peserta BPJS wajib membawa surat rujukan dari klinik awal. Penolakan ini terjadi meski situasinya adalah kegawatdaruratan yang seharusnya langsung ditangani.


Keluarga pasien yang diliputi rasa cemas, bingung, dan kecewa, segera bergegas menuju klinik untuk meminta surat rujukan. Namun lagi-lagi, mereka dihadapkan pada pelayanan yang tidak ideal. Di klinik tersebut, Ny. AK tidak diminta masuk untuk diperiksa. Tanpa asesmen lanjutan, pihak klinik hanya memberikan surat rujukan dan menyarankan agar pasien dibawa ke RS Jasmine, dengan alasan bahwa poliklinik di rumah sakit tersebut masih beroperasi pada malam hari.


Perjalanan berlanjut ke RS Jasmine. Setelah melalui antrean cukup lama, pasien akhirnya diperiksa di ruang IGD. Berdasarkan hasil pemeriksaan, dokter memutuskan bahwa Ny. AK perlu menjalani tindakan kuretase keesokan paginya. Sekitar pukul 10 malam, pasien dipindahkan ke ruang rawat. Namun yang terjadi di ruang rawat justru menambah deretan kisah memilukan dalam perjalanan pelayanan kesehatannya.


Ruang rawat yang seharusnya menjadi tempat pemulihan, malah menghadirkan cerita miris tersendiri. Mulai dari suasana yang tidak nyaman, penanganan petugas yang terkesan abai, hingga kurangnya empati dalam memberi dukungan emosional kepada pasien yang sedang mengalami krisis kesehatan dan psikologis.


Perjalanan Ny. AK membuka mata kita bahwa pelayanan kesehatan, terutama dalam situasi darurat, masih menghadapi tantangan besar di lapangan. Ketentuan administratif yang seharusnya fleksibel dalam kondisi darurat ternyata masih menjadi tembok tinggi bagi masyarakat. Sementara itu, standar empati dan kemanusiaan dari para tenaga medis dan administrasi masih menjadi pekerjaan rumah yang mendesak untuk dibenahi.


Kisah ini bukan sekadar tentang prosedur, tapi tentang nyawa, rasa kemanusiaan, dan pentingnya pelayanan yang berpusat pada pasien. Ny. AK adalah satu dari sekian banyak warga yang masih berharap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang cepat, tanggap, dan manusiawi, terutama dalam situasi genting yang tak bisa ditunda oleh birokrasi. (Yti/Redaksi).

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال